![]() |
Bendungan Pandan Dure di Kecamatan Terara, Kabupaten Lombok Timur, yang menyisakan masalah. foto/istimewa |
LokalNews.id – Persoalan lahan ganti rugi untuk pembangunan Bendungan Pandan Dure di Kecamatan Terara, telah berlangsung selama 13 tahun dan belum menemukan solusi. Tanah yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi NTB melalui Pemerintah Daerah Lombok Timur kini diklaim sebagai milik Yayasan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Lombok Timur,
Muhammad Hariri, mengungkapkan bahwa sebanyak 200 kepala keluarga menerima
lahan ganti rugi, dengan masing-masing kepala keluarga memperoleh 1 hektar. Lahan
ini terletak di Jeringo, Kecamatan Suela.
“25 are dari lahan tersebut diperuntukkan sebagai lahan pemukiman, sedangkan
75 are sisanya untuk lahan usaha,” kata Hariri kepada awak media usai acara
pembukaan Selekda dan Vokasi Begawe di BPVP Lenek, Selasa (1/10).
Lahan yang diperoleh oleh masyarakat eks Pandan Dure sebagai ganti rugi
seharusnya mendapatkan surat kepemilikan (sertifikat), namun hingga kini belum
ada kepastian mengenai surat tersebut. Hariri menyadari bahwa masalah utama
saat ini adalah inventarisasi pemilik lahan. Selain itu, lahan yang diterima
masyarakat masih diklaim oleh salah satu yayasan terbesar di Lombok Timur.
“Ada klaim dari pihak Yayasan yang menyatakan bahwa lahan tersebut juga
termasuk dalam area yang diambil oleh warga transmigrasi (warga Pandan Dure),”
ujar Hariri.
Pemerintah daerah Lombok Timur pun menawarkan dua solusi terkait persoalan
ini. Pertama, memberikan lahan baru kepada yayasan tersebut sebagai ganti rugi.
Kedua, membagi sisa tanah yang ada secara proporsional.
Lebih lanjut, Hariri menegaskan bahwa pemerintah akan berusaha menyelesaikan
permasalahan ini tahun ini. “Pada tahun 2024, ada program Prona dari BPN, insya
Allah 80 persen akan selesai,” harapnya.
Untuk diketahui, mengutip dari ukinstitute.org bertema “Sengketa
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bendungan Pandan Dure”, Pandan Dure merupakan
bendungan kedua terbesar di Pulau Lombok setelah Bendungan Batu Jai yang berada
di Kabupaten Lombok Tengah.
Ppembangunan Bendungan ini, menggusur 4 Desa diantaranya
Desa Pandan Dure, Desa Embung Raja, Desa Santong dan Desa Suwengi. Pembangunan
Bendungan Pandan Dure dilaksanakan dibawah pimpinan Gubernur Dr. H. Muhammad
Zainul Majdi, MA atau yang kerap di sapa TGB (Tuan Guru Bajang).
Rencana pembangunan Bendungan Pandan Dure dimulai pada tahun
2011 silam, dengan anggaran Multiyears sebesar 513 miliar dan mulai beroperasi
pada tahun 2013, hal ini terbilang singkat karena hanya memakan waktu 2 tahun
untuk membangun bendungan yang luasnya berkisar sekitar 450 hektar tersebut.
Pembangunan Bendungan berlangsung dramati. Hal inilah yang
memicu masyarakat melakukan protes besar-besaran seperti melakukan demo dan
mendirikan shalat jum’at di tengah-tengah bendungan tanpa menghiraukan terik
matahari yang menyengat di atas kepala mereka, demi untuk memperjuangkan hak
mereka.
Belum lagi tanah yang mereka jual merupakan tanah warisan
dari orang tua, dimana kita ketahui sebagian besar budaya masyarakat Lombok
adalah jika memiliki tanah, mereka akan sangat sulit untuk mau menjualnya
kecuali, jika dalam keadaan yang benar-benar mendesak itupun mentoknya mereka lebih
memilih untuk menggadai (sandak) atau menjualnya musiman (Jual Balit) bagi
tanah pertanian.
Terlebih lagi jika tanah yang akan dijual tersebut merupakan
tanah warisan orang tua (Pusake) mereka akan menjaga tanah tersebut bahkan akan
mereka wariskan lagi kepada anak cucu mereka nanti. Permasalahan terjadi
dikarenakan oleh jumlah ganti kerugian dan lokasi evakuasi yang dinyatakan
sangat menyiksa bagi masyarakat desa yang terdampak pembangunan. (ong)