![]() |
Rapat koordinasi dengan Apoteker Penanggung Jawab Pedagang Besar Farmasi (PBF). Foto/istimewa |
LokalNews.id – Dalam upaya menekan pembelian dan penyerahan antibiotik tanpa resep dokter, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Mataram menggelar rapat koordinasi dengan Apoteker Penanggung Jawab Pedagang Besar Farmasi (PBF). Kegiatan tersebut berlangsung di aula BBPOM Mataram pada Selasa, 1 Oktober 2024.
Kepala BBPOM Mataram, Yosef Dwi Irwan, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa berdasarkan pengawasan nasional pada tahun 2023, Nusa Tenggara Barat (NTB) menempati peringkat keenam sebagai provinsi dengan tingkat penyerahan antibiotik tanpa resep dokter tertinggi. Kondisi ini meningkatkan risiko terjadinya Resistensi Antimikroba (AMR) atau Anti Microbial Resistance.
“Pada tahun 2019, AMR menyebabkan 4,95 juta kematian, jumlah ini bahkan lebih tinggi dibandingkan kematian akibat HIV/AIDS dan Malaria. WHO memprediksi bahwa pada tahun 2050 jumlah kematian akibat AMR dapat mencapai 10 juta jiwa per tahun. AMR adalah ancaman besar bagi kesehatan global dan bisa disebut sebagai pandemi senyap yang dapat membunuh tanpa disadari,” jelas Yosef.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa dampak dari AMR sangat signifikan, mulai dari infeksi yang sulit disembuhkan hingga peningkatan biaya perawatan di rumah sakit. Bahkan, jika semua jenis antibiotik tidak lagi efektif, hal ini bisa berujung pada kematian.
“Hasil pengawasan kami menunjukkan lebih dari 90% apotek menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter. Ini menunjukkan perlunya kolaborasi dari hulu ke hilir untuk mengatasi AMR, salah satunya dengan mengendalikan distribusi antibiotik di tingkat PBF,” tegas Yosef.
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, BBPOM Mataram telah melakukan berbagai upaya, termasuk membangun komitmen dengan berbagai pemangku kepentingan seperti Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan, GP Farmasi, serta profesi medis lainnya.
Selain itu, surat edaran juga telah dikeluarkan untuk memastikan antibiotik hanya diserahkan dengan resep dokter di apotek, rumah sakit, dan klinik.
Sebagai langkah lebih lanjut, BBPOM Mataram juga membagikan poster kampanye "Stop Pembelian Antibiotik Tanpa Resep Dokter" dan "Bijak Menggunakan Antibiotik". Mereka juga meminta GP Farmasi Provinsi NTB untuk mengkaji frekuensi dan jumlah pemesanan antibiotik di fasilitas pelayanan kefarmasian.
“Kami mengharapkan peran aktif Apoteker Penanggung Jawab PBF dalam memastikan bahwa apotek yang menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter tidak dilayani. Jika ditemukan pelanggaran berulang, sanksi administratif akan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tambah Yosef.
Di akhir sambutannya, Yosef menegaskan pentingnya dukungan dari seluruh PBF di NTB dalam mendukung kebijakan ini untuk mencegah penyerahan antibiotik tanpa resep dokter serta menjaga kesehatan masyarakat.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan penularan AMR di NTB dapat dikendalikan demi kesehatan masyarakat yang lebih baik. (ong)