lokalnews.id – Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Cabang Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menggelar diskusi bertema “Sejauh Mana Peran Perempuan dalam Program Kerja Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB”.
Diskusi berlangsung pada Sabtu (09/11) di Kota Mataram itu, menghadirkan Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) NTB Miftahul Jannah dan akademisi sekaligus pengamat politik dari UIN Mataram, Purnami Safitri.
Ketua FJPI NTB, Linggauni, menyatakan bahwa ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB jarang mengangkat isu-isu tentang perempuan dalam program kerjanya.
“Pembahasan tentang program kerja yang melibatkan perempuan sangat minim. Padahal, persoalan perempuan di NTB ini kompleks,” ujarnya.
Ia menambahkan, diskusi semacam ini jarang dilakukan meski jumlah pemilih perempuan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) lebih banyak dibandingkan laki-laki. “Mengapa isu perempuan jarang disinggung, padahal pemilih perempuan di NTB sangat signifikan?” tanyanya.
Akademisi sekaligus Ketua PWNA NTB, Miftahul Jannah, menjelaskan bahwa tidak ada pasangan calon yang secara eksplisit menyebut peran perempuan dalam program kerja mereka. Dengan jumlah pemilih perempuan yang mencapai 51% dari populasi, peran perempuan seharusnya jelas dalam program pembangunan.
“Perempuan adalah pemilih produktif. Ketika perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan pembangunan daerah, hal ini akan memengaruhi Indeks Pemberdayaan Gender (IDG),” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa IDG NTB saat ini berada di peringkat ke-34 dari 34 provinsi, yang menandakan minimnya keterlibatan perempuan di ranah publik.
Senada dengan Miftah, Purnami Safitri menyoroti kurangnya kesadaran kandidat mengenai pentingnya peran perempuan dalam program-program strategis. Ia menekankan bahwa meski perempuan terlibat di organisasi kemasyarakatan, posisi mereka jarang berada di level pengambilan keputusan.
“Ini mungkin juga tercermin dalam lingkup pemerintah daerah, di mana peran perempuan belum menjadi isu strategis dalam kebijakan publik,” jelasnya.
Nami juga mengingatkan agar pasangan calon tidak sekadar mengikuti kepentingan pragmatis partai politik pendukung, namun harus menyusun kebijakan yang mengangkat kepentingan perempuan dengan konkret.
“Kepala daerah seharusnya memiliki visi yang kuat dalam mengakomodasi peran perempuan,” pungkasnya. (ong)